Sepenggal Tentang Agama
Agama, sebuah media, sebuah penyalur, sebuah tempat dimana seorang atau lebih mengakui adanya Tuhan. Melalui agama, manusia bukan saja hanya menyembah Tuhan. Tapi oleh agama, manusia dapat menyalurkan ekspresi sukurnya.
Seseorang pernah tidak percaya adanya Tuhan. Baginya, Tuhan tidak lebih dari sebuah peng-ada-ada-an. Pada dasarnya, apapun ajaran Tuhan, hanya ada benar atau salah. Kemudian ia bertanya, benar dan salah menurut siapa? Ini yang menyebabkan ia berpikir kalau Tuhan tak ada. Hingga ia pun melihat dalam diri ia sendiri. “Dari mana aku?”. Jawabannya ia temukan setelah berbulan-bulan ia pahami juga mendalami apa itu “aku, dari mana aku, siapa aku, ada apa dengan aku, kenapa aku di sini?” dan pertanyaan lainnya.
Untuk sesaat dibuanglah kasus mengenai benar-salah. Kini ia masuk dalam masalah takdir dan nasib. Takdir baik, takdir buruk, sebuah teori yang diambil dari ajaran agama Islam. Ia pun mengkritisi teori ini, “kalo seperti ini, jalani aja hidup sesua detik jam”. Namun realita yang terjadi, bukan hanya pasang air dia hadapi, kemudahan juga kelapangan ia dapatkan. Rasa penasaran makin dalam di otaknya. Mencari, dan mencari lagi. Dia pun bingung. Bingung menyampaikan rasa terimakasih ketika kemudahan ia dapatkan. Tak tau harus berterima kasih kepada siapa. Habis akal, akhirnya cuma dalam hati ia mengucapkan terima kasih. Saat itu pun ia semakin gelisah. Apa pun yang didapatkan, tidak datang begitu saja. Dan ini pun diyakini olehnya. Kembalilah dia pada permasalahan “siapa aku”. Secara biologi, “aku datang dari kandungan ibu. Dalam kandungan, cikal bakal ku dari setitik sperma yang diketemukan dengan ovum. Sebelum itu, dari mana aku?” Pertanyaan-pertanyaan ini tetap membuat pusing kepala. Semua jawaban yang ditemukan sama. “apakah kemudian aku harus menuruti jawaban itu?”. |
Satu ketika, berbisik dalam hatinya. Dan ia pun menemukan itu sendiri. Saat dimana ia berperang, berdebat dengan dirinya sendiri. “Kata siapa Tuhan itu ada?” dan dirinya sendiri menjawab “kataku”, “siapa?”, “ya aku, dirimu, hatimu yang paling dalam, aku ada dalam dirimu, aku yang berkata dan mengakui Tuhan itu ada”, “siapa kamu?”, “aku ya kamu, kamu ya aku, aku adalah aku, yang bilang kalau Tuhan itu ada”, “dari mana kamu tau Tuhan itu ada?”, “dari sini, dari dalam dirimu(ku) sendiri”.
Mau tidak mau ia pun mengakui adanya Tuhan. Paling tidak untuk dijadikan tempat berterimakasih atas apa yang telah didapatkan. Juga tempat untuk meminta pertolongan. Rasa penasaran makin dalam di otaknya. Mencari, dan mencari lagi. Dia pun bingung. Bingung menyampaikan rasa terimakasih ketika kemudahan ia dapatkan. Tak tau harus berterima kasih kepada siapa. Habis akal, akhirnya cuma dalam hati ia mengucapkan terima kasih. Saat itu pun ia semakin gelisah. Apa pun yang didapatkan, tidak datang begitu saja. Dan ini pun diyakini olehnya. Kembalilah dia pada permasalahan “siapa aku”. Secara biologi, “aku datang dari kandungan ibu. Dalam kandungan, cikal bakal ku dari setitik sperma yang diketemukan dengan ovum. Sebelum itu, dari mana aku?” Pertanyaan-pertanyaan ini tetap membuat pusing kepala. Semua jawaban yang ditemukan sama. “apakah kemudian aku harus menuruti jawaban itu?”. Satu ketika, berbisik dalam hatinya. Dan ia pun menemukan itu sendiri. Saat dimana ia berperang, berdebat dengan dirinya sendiri. “Kata siapa Tuhan itu ada?” dan dirinya sendiri menjawab “kataku”, “siapa?”, “ya aku, dirimu, hatimu yang paling dalam, aku ada dalam dirimu, aku yang berkata dan mengakui Tuhan itu ada”, “siapa kamu?”, “aku ya kamu, kamu ya aku, aku adalah aku, yang bilang kalau Tuhan itu ada”, “dari mana kamu tau Tuhan itu ada?”, “dari sini, dari dalam dirimu(ku) sendiri”. Mau tidak mau ia pun mengakui adanya Tuhan. Paling tidak untuk dijadikan tempat berterimakasih atas apa yang telah didapatkan. Juga tempat untuk meminta pertolongan. |